Tinjauan Wawasan Habibie dalam
Pemikiran
Ekonomi-Pembangunan *)
Oleh M Dawam Rahardjo**)

Michel Camdessus,Managing Director IMF,mempertanyakan langkah Habibie di IPTNnya,dan Habibie pun bertahan dengan konsepnya!!

*) Makalah yang disampaikan pada acara Hari Ulang Tahun Center for Information and Development Studies (CIDES), yang ke IV, 25 Januari 1997, diselenggarakan di Jakarta
**) Adalah rektor Universitas Islam 45 Bekasi
.

Disampaikan ulang oleh M Y Rasyidi M prof BTM,MIMS sebagai perwujudan rasa hormat kepada Prof.Dr.BJ.Habibie


I

Dalam perkembangan pemikiran ekonomi-pembangunan pada dasawarsa '90-an timbul istilah baru yang cepat menjadi populer, yakni "Habibienomics", yang mengikuti peristilahan "Reaganomics" yang muncul di AS pada dasawarsa '80-an. Reaganomics, yang disebut juga supply-side economics itu, adalah pemikiran ekonomi yang merefleksikan kebijaksanaan ekonomi yang ditempuh oleh Ronald Reagan, Presiden AS pada waktu itu. Penyususnan konsepnya tentu saja bukan Reagan pribadi, melainkan Tim Penasehat Ekonomi Presiden AS itu dengan tokoh-tokohnya antara lain Arthur Raffer, Norman Ture dan Paul Creaig Robert. Tetapi disebut Reaganomics karena konsep kebijaksanaan itu secara formal dikemukakan dan dijalankan oleh Presiden Reagan.

Istilah "Habibienomics" pertama kali ditawarkan oleh pengamat ekonomi terkemuka Kwik Kian Gie dalam harian Kompas 3 Maret 1993 dengan tulisannya berJudul "Konsef Pembangunan Ekonomi Prof. Habibie". Tulisan itu sendiri adalah sebuah ulasannya terhadap pemikiran Prof. Habibie mengenai strategi industrialisasi yang dilontarkannya dalam kesempatan memperkenalkan berdirinya Center for information and Development Studies (CIDES), dimina Prof. Habibie menyampaikan Sebuah Makalah berjudul "Pembangunan, Ekonomi Berdasarkan Nilai Tambah, dengan,Orientasi Pengembangan Teknologi dan Industri". Makalah tersebut, sebenarnya merupakan penjelasan resmi dari pemikiran yang sebelumnya .telah dilaontarkan secara lisan

Sebenarnya, Kwik bukanlah orang, pertama yang menanggapi pemikiran Habibie. Sebelumnya, pada pertengahan '80an, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, pernah mengulas pemikiran Habibie dalam makalah berjudul "Industrialisasi dalam Pembangunan Ekonomi" yang disampaikan sebagai ceramah Pembukaan Simposium "Industrialisasi di Indonesia: Prospek dan Masalahnya dalam rangka peringatan 35 tahun Fakultas Ekonomi, Universitas, tanggal 10 September 1985. Kerangka acuan seminar itu menyebut bahwa pada waktu itu dapat disimpulkan adanya tiga alternatif pemikiran dalam pola pengembangan industri yang hidup dan berlaku. Pertama, pola yang menghendaki agar pengembangan industri diarahkan jenis-jenis industri kepada yang memiliki comfarative advantage. Pola pemikiran ini dapat dikatakan diwakili oleh. kelompok ekonom-akedemis. Kedua, konsep "Delapan 'Wahana Transformasi Teknologi dan industry" yang dikemukakan oleh Menteri Riset dan Teknologi Ketua BPPT, yang pada dusarnya memprioritaskan pembangunan industri - industri hulu masa depan" secara simultan. Dan ketiga, konsep Menteri Perindustrian pada waktu itu yang menghendaki keterkaitan antar industri, khususnya keterkaitan hulu - hilir

Hanya saja, dalam makalahnya itu Prof. Sumitro tidak menyebut istilah Habibienomics untuk menamai pemikiran Habibie. Ia bahkan mengatakan bahwa tiga pemikiiran itu baru seolah-olah ada, dimana yang satu merupakan alternatif bagi yang lain. Ia juga menganjurkan agar masing-masing kelompok tidak menjadikan pemikiran mereka sebagai dogma. Karena pemikiran atau konsep itu perlu pengkajian lebih lanjut, baik secara academies maupun melalaui pengalaman empiris dalam pelaksanaan kebijaksanaan.

Dalam perdebatan publik yang berkembang kemudian, masyarakat memperoleh kesan tentang adanya dua kelompok yang memiliki kecenderungan yang pada dasarnya berbeda. Pertama adalah kelompok teknokrat yang diwakili oleh Prof. Dr. Widjojo Nitisastro yang mendominasi kebijaksanaan economy dan pembangunan dari tahun 1967-1978. Dan kedua, adalah kelompok insinyur atau teknolog yang baru muncul sejak 1978. Tetapi kelompok kedua inipun mengandung varian. Pertama adalah varian yang mewakili pemikiran tentang "pohon industri" yang diwakili oleh Menteri Perindustrian pada waktu Ir. Soehoed dan kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, Ir. Hartarto, kini Menko Produksi dan Distribusi. Penggantiaanya, Ir. Tungky Aribowo, agaknya masih melanjutkan kebijaksanaan yang telah dirintis oleh pendahulunya. Dan kedua, adalah pemikiran mengenai transformasi industri melalui sejumlah industri strategis, yaitu industri yang memberikan nilai tambah tinggi yang didasarkan pada technology canggih dan sumberdaya manusia yang tinggi mutunya. Pemikiran ini menyandang nama Habibienomics, walaupun Prof. Habibie sendiri menampik penamaan itu. Belakangan, menjelang akhir tahun l996, Habibienomics bertambah citra dan substansinya dengan gagasannya mengenai hubungan antara suku bunga dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dalam memperkirakan dampak inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi, ia cenderung mengabaikan akibat jangka pendek dan lebih memperkirakan dampak jangka menengah dan panjang dari kebijaksanaan penurunan suku bunga untuk mendongkrak sisi penawaran aggregate. Di sini gagasan Habibie itu mirip dengan Reagonomics atau supply side economics.

Sungguhpun begitu, dalam perkembangan pengamatan kini, yang mengedepankan hanya dua aliran pemikiran saja. Pertama, adalah yang disebut sebagai Widjojonomics. Pemikiran ini ditampilan sebagai konsep strategi industrialisasi yang mendasarkan diri pada prinsip keuntungan komparatif (comparative advantage) yang mengacu kepada teori Ricardo tentang perdagangan internasional dan industrialisasi. Kedua adalah Habibienomics yang mendapatkan predikat baru, yakni pemikiran yang ingin meninggalkan prinsip keuntungan komparatif menuju kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage), suatu pemikiran yang sesungguhnya berasal dari ahli manajemen, Michael E. Porter yang ditulis secara lengkap dalam bukunya "The Compative Advantage of Nations" ( 1990). Perbedaan antara prinsip keuntungan kompratif dan keunggulan kompetitif itu adalah bahwa yang pertama mendasarkan diri pada keuntungan yang telah dimiliki oleh suatu negara, misalnya di Indonesia mendasarkan diri pada sumber daya alam dan tenaga kerja murah. Sedangkan yang kedua mendasarkan pada kelebihan atau kekuatan baru yang masih harus dikembangkan atau diciptakan, yakni pada keunggulan technologi dan SDM yang bisa menghasilkan nilai tambah tinggi.

Sebenarnya tidak adil jika dikatakan bahwa Widjojonomics itu intinya adalah hanya kebijaksanaan yang mendasarkan diri pada prinsip keuntungan komparatif saja. Kebijaksanaan economy yang dikembangkan oleh kelompok Widjojo sebenarnya jauh lebih luas dan dapat disimpulkan dalam doktrin Trilogi Pembangunan yang menekankan kepada pengendalian kebijaksanaan economi makro dalam upaya-upaya untuk menciptakan stabilities, pertumbuhan dan pemerataan. Sweatshop kebijaksanaan sektoral, misalnya pembangunan pertanian, industri dan perdagangan harus diperhitungkan dan dikontrol berdasarkan kerangka dan keseimbangan economi makro yang dinamis, khususnya dengan melihat kepada indikator economi fundamental.

Selain itu, berbicara mengenai aliran pemikiran yang hidup dewasa ini, tidak adil jika hanya mengakui kehadiran Widjojonomics dan Habibienomics saja. Kita mengenal juga pemikiran economi Universitas gajah Mada Prof. Dr. Mubyarto yang cukup konsisten yang mungkin dapat disebut sebagai konsep "Economi Pancasila" dengan perhatian yang terfokus pada perekonomian rakyat. Cukup adil untuk juga menyebut kehadiran Mubyartonomics, walaupun tokoh ini bukan pengambil keputusan sentral dalam kebijaksanan pembangunan. Namun, Mubyartonomics tersebut telah ditulis. Sementara itu Widjojonomics hanya dikenal dari konsep-konsep kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi pembangunan pemerintah yang dirintisnya dan mengikuti alur pemirannya, sebagai pembantu Presiden di masa lalu, tetapi hingga kini masih diteruskan oleh pengikut-pengikutnya. Konsep itu juga tidak ditulisnya sendiri, melainkan secara kolektif. Sementara itu konsep Habibie masih lebih muda umurnya dari pada konsep Widjojonomics dan hanya baru-baru ini saja ditulis dalam bentuk makalah-makalah pidato atau seminar.

Tiga wawasan yang mencerminkan aliran pemikiran yang disebut oleh Sumitro dan dibahas kembali oleh Kwik dalam ulasannya tentang Pemikiran Habibie di atas, sebenarnya telah dirangkum dalam dokumen negara yang resmi yakni GBHN. Dalam GBHN 1993-998, pada Bab IV, Bidang Ekonomi dan Sektor Industri dikatakan pada bagian yang Mengawali rumusan kebijaksanaan sektor industry:

Pembangunan industri diarahkan untuk menuju kemandirian perekonomian nasional, meningkatkan kemampuan bersaing, dan menaikkan pangsa pasar dalam Negeri dan pasar luar negeri dengan selalu memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pambangunan industri ditujukan untuk memperkukuh struktur ekonomyi nasional, dengan keterkaitan yang kuat dan saling mendukung antar sektor, meningkatkan daya tahan perekonomian nasional, memperluas, kesempatan kerja dan kesempatan tahan sekaligus mendorong berkembangnya kegiatan berbagai sektor pembangunan lainnya.

Proses penyusunan naskah GBHN biasanya diawali dengan mendengarkan aspirasi departemen terkait yang terlibat dan berpengalaman dalam pelaksanaan pembangunan yang sedang berjalan. Di bidang industri ini, tentunya didengar dan dipertimbangankan aspirasi departemen perindustrian, yang dewasa ini dikuasai oleh kelompok insinyur atau teknolog kubu "pohon industri. Rumusan di atas memang mencerminkan pemikiran aliran tersebut, misalnya dalam ide "keterkaitan yang kuat dan saling mendukung antar sektor", disamping memperhatikan pandangan teknokrat yang berkepentingan untuk "meningkatkan kesempatan kerja dan mendorong berkembangnya kegiatan berbagai sektor pembangunan lainnya".

Selanjutnya, masih dalam alinea yang sama terbaca rumusan yang memberikan informasi yang lebih jelas tentang aspirasi siapa yang tertampung didalamnya. Kita ingat, bahwa dalam Perumusan GBHN 1993, peranan Ginanjar Kartasasmita, kini Menteri Negara Perencanaan Pembanguman Nasional/ Ketua Bappenas, yang pernah bertanggungjawab, sebagai Menteri Muda, untuk mempromosikan penggunaan produk dalam Nigeri oleh industri itu , sangat menonjol, seperti nampak dalam rumusan lanjutan berikut.

Pengembangan industri nasional, termasuk kegiatan rancang bangun dan rekayasa dimantapkan dengan mendaya gunakan sumberdaya yang dimiliki bangsa Indonesia, memanfaatkan keunggulan komparatif dan menciptakan keungglan kompetitif dengan selalu memperhatikan dampaknya bagi stabilitas ekonomi sehingga mampu bersaing di pasar dalam Negeri dan pasar luar Negeri. Industri nasional diarahkan untuk lebih banyak menggunakan kemampuan rancang bangun dan rekayasa, bahan baku komponen dan bahan penolong dan buatan dalam Negeri.

Dalam rumusan di atas masih sangat nampak pengaruh aspirasi kelompok insinyur penganjur perubahan "pohon industri". Namun jika kita melihat rumusan yang ingin "mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki bangsa Indonesia" dan dengan memanfaatkan keunggulan komparatif', maka disini kita melihat masih dipertimbangkannya prinsip-prinsip yang dianut oleh kelompok teknokrat. Apalagi jika kita memperhatikan kalimat "dengan selalu memperhatikan dampaknya bagi stabilitas ekonomi, sehingga mampu bersaing dalam pasar dalam negeri maupun luar negeri". Kelompok teknokrat memang menekankan aspek daya saing industri ini, karena kelompok teknokrat mengasumsikan berlakunya pasar bebas dimana setiap perusahaan harus mampu bersaing secara terbuka itu. Tapi kalimat selanjutnya yang menginginkan "Industri Nasional diarahkan untuk lebih banyak menggunakan kemampuan rancang bangun dan rekayasa, bahan baku, komponen dan bahan penolong buatan dalam negeri", nampak lebih mencerminkan pandangan kelompok teknolog.

Pandangan teknolog "pohon industri", yang menginginkan dilakukannya pendalaman struktur industri, agaknya memang menguasai kebijaksanaan industrialisasi kita dewasa ini. Hal ini tercermin dari rumusan-rumusan GBHN. Di bagian lain umpamanya ditekankan bahwa "Industri penghasil bahan baku, komponen dan bahan penolong terus dikembangkan untuk memperdalam struktur industri secara efisien dan mampu bersaing sehingga mengurangi ketergantungan pada impor". Dari sudut pandangan teknolog, industri kita mengalami ketergantungan tegnologi yang mengakibatkan meningkatnya impor, sejalan dengan melajunya proses industrialisasi. Pandangan mereka sebenarnya dapat disebut sebagai konsep strategy Industri Substitusi Impor (ISI). Tapi, ISI yang ingin dikembangkan harus melangkah lebih lanjut, dari industri barang-barang konsumsi ke industri yang lebih hulu, yakni yang menghasilkan bahan baku, penolong dan mesin-mesin.

Aspirasi Habibie tertampung juga dalam rumusan di atas, yakni ketika disebutkan tentang perlunya kita "menciptakan keunggulan kompetitif', disamping "memanfaatkan keunggulan komparatif'. Disini kita teringat kepada reaksi yang dilontarkan oleh Prof. Sumitro menanggapi gagasan Habibie untuk meninggalkan prinsip keuntungan komparatif. Bagi Habibie penganutan perinsip ini akan menyebabkan industri kita bergerak di produk-produk yang nilai tambahnya kecil, lagi pula dengan mengeksploitasi sumberdaya alam dan tenaga kerja Indonesia yang masih murah itu.

Pandangan Habibie di atas juga didasarkan pada hasil pengamatannya bahwa negara-negara yang tidak memiliki sumberdaya alam yang kaya, Toronto juga mampu membangun dan menjadi negara yang kuat dalam perekonomian global. Bahkan ia juga melihat suatu paradoks dalam sejarah perekonomian dunia. Jepang, dan dengan alasan yang sama dapat disebut juga Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Hongkong , adalah negara-negara yang boleh dibilang miskin sumberdaya alam secara relatif maupun absolut. Tetapi negara-negara itu mampu berkembang menjadi negara industri dan negara-negara industri baru di kawasan Asia Timur. Sebaliknya Indonesia yang kaya raya, justru jatuh ke kelompok negara miskin. Tanpa melakukan kajian sistematis dan mendalam, Habibie mengambil kesimpulan bahwa factor pembedanya terletak pada mutu sumber daya manusia yang dimiliki. Dari mutu sumberdaya manusia itu, bangsa-bangsa tersebut di atas mengembangkan teknologi yang kemudian menjadi faktor keunggulannya dalam proses perkembangan perekonomian dunia.

Agaknya, pandangan Habibie itu bukan hanya miliknya sendiri. Banyak orang mengambil kesimpulan serupa, walaupun itu adalah kesimpulan yang simplistis, karena berhasilnya negara-negara tersebut meraih keunggulan kompetitif adalah sebuah fenomena yang kompleks. Faktor geografi, nilai dan terutama posisi masing-masing negara dalam sejarah, memberi penjelasan terhadap apa yang dapat mereka capai sekarang ini. Sebelum menjadi negara industri, negara-negara tersebut pernah menjadi pusat perdagangan atau menjadi pelaku perdagangan jarak jauh. Sebagaimana negara-negara Eropa Barat, negara-negara tersebut terlebih dahulu mengalami "Revolusi Komersial!' dan baru kemudian "Revolusi Industri" dalam versi lain.

Bahwa kesimpulan Habibie adalah juga kesimpulan simplistis banyak orang, nampak dari penerimaan publik terhadap wawasan Habibie, khususnya mengenai sumber daya manusia yang merupakan salah satu faktor produksi dalam analisis ekonomi mikro itu. Sekarang ini, seolah-olah kita melihat gejala kelatahan, karena orang sering berbicara mengenai SDM (sumber daya manusia) dan Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) yang merupakan tema sentral Habibie. Kesetujuan masyarakat luas, khususnya masyarakat politik nampak dari ditampungnya wawasan Habibie dalam GBHN. Salah satu kebijaksanaan yang tercantum dalam GBHN mengatakan:

Pembangunan industri yang mempunyai nilai tambah yang tinggi dan jangkauan strategis, seperti industri maritim, industri transportasi darat, industri penerbangan dan dirgantara, industri telekomunikasi, industri elektronika, industri energi, industri kimia, industri alat dan mesin pertanian, industri pertahanan dan keamanan, serta industri yang menghasilkan mesin dan peralatan industri perlu didorong perkembangannya, agar menjadi lebih efisien dan mampu bersaing, baik di tingkat regional maupun global melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, kemampuan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, didukung oleh upaya peningkatan kerja sama lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah, swasta dan perguruan tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Kutipan di atas secara eksklusif adalah alinea Habibie. Dalam pelaksanaan Repelita VI ini, industri-industri di atas diserahkan pengembangannya kepada Habibie dalam Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS).

Namun perlu dicatat, bahwa masih banyak sektor-sektor lain yang disebut dalam GBHN, berada di luar kewenangan Habibie untuk mengembangkannya. GBHN sebenarnya menampung aspirasi dari banyak kalangan, termasuk yang berada di luar "tiga alternatif pemikiran dalam pola pengembangan industri" yang dikutip Sumitro di atas. Dan harus pula dicatat dan diingat, bahwa ada sejumlah pemikiran dalam konteks strategi pembangunan yang berada di luar tiga arus pemikiran yang menjadi pusat perbincangan itu.

Sejauh yang menyangkut tiga paradigma industri yang bersaing, ketiga aliran pemikiran itu berkoeksistensi dalam konsep strategi pembangunan yang lebih menyeluruh. Barangkali karena itulah maka ada kecenderungan untuk tidak membeda-bedakan tiga arus pemikiran di atas. Karena kesemuanya tertampung dan merupakan unsur-unsur dalam strategi pembangunan yang secara keseluruhan dipimpin oleh Presiden Soeharto. Jika kita mengacu kepada istilah Reaganomics, dan sekarang ini Clintonomics (baca misalnya buku Dr Didin S. Damanhuri SE, MS "Ekonomi Politik Alternatif: Agenda Reformasi Abad 21", 1997, khususnya artikel "Clintonomics: Memerankan Kembali Peranan Negara), maka kita seharusnya berbicara mengenai Soehartonomics, sebagaimana dianjurkan oleh Christianto Wibisono.

Tetapi untuk lebih bisa memahami Soehartonomics, maka ada juga manfaatnya berbicara mengenai berbagai aliran pemikiran yang hidup. Karena hal itu ikut membantu memahami Soehartonomics atau GBHN itu sendiri dengan memahami asal usul gagasan tersebut. Habibienomics, jika kita setuju menyebutnya demikian, adalah sebuah reaksi terhadap Widjojonomics. Sementara itu Widjojonomics juga mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri. Oleh sebab itu, dalam upaya memahami wawasan Habibie dan kedudukannya dalam belantara pemikiran pembangunan di Indonesia, kita perlu membaca sejarah intelektual yang ternyata cukup menarik itu. Untuk keperluan tersebut cukup kiranya kita melongok ke kilas balik peta pemikiran pembangunan dalam dasawarsa '50-an yang ternyata cukup ramai juga itu.


II

Dalam dasawarsa '50-an, telah muncul tiga pola pemikiran yang menonjol, yang dapat disebut sebagai tiga wawasan pembangunan yang berbeda. Pertama adalah pola pemikiran Mohammad Hatta, ketika itu berperan sebagai Wakil Persiden yang memiliki perhatian yang khusus terhadap masalah-masalah pembangunan ekonomi. Kedua adalah pola pemikiran Sjafruddin Prawiranegara, terutama dalam posisinya sebagai Gubernur Bank Sentral, walaupun sebelumnya pernah menjabat menjadi Menteri Kemakmuran dan dua kali Menteri Keuangan. Ketiga, adalah pola pemikiran Sumitro Djojohadikusumo, baik dalam kedudukan dan peranannya sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian, ketika Sjafruddin menjadi Menteri Keuangan, maupun sebagai Menteri Keuangan, ketika Sjafruddin telah menjadi Gubernur Bank Indonesia. Sebagaimana akan kita lihat dalam tinjauan berikut, kedudukan dan peranan masing-masing pemikir itu dalam pemerintahan, terutama pada Sjafruddin dan Sumitro, berpengaruh terhadap pandangan teoritis mereka masing-masing.

Tinjauan kilas balik historis diperlukan guna memahami asal usul Widjojonomics, sebelum kita bisa melihat kedudukan wawasan Habibie dalam peta pemikiran. Tetapi posisi pemikiran Habibie sendiri juga bisa mulai nampak dengan melihat posisi Sjafruddin dan Sumitro ketika keduanya berinteraksi dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi nasional pada waktu itu. Sjafruddin dan Sumitro berbeda pandangan dalam analisis kebijaksanaan, karena keduanya memiliki wawasan berbeda mengenai pembangunan.

Melihat asal usul wawasan Widjojo Nitisastro juga penting, karena peranannya dan kawan-kawannya dalam merintis kebijaksanaan ekonomo Orde Baru. Dalam majalah Rampant yang terbit di AS, juga dalam analisis Rex Mortimer, seorang Marxis Australia, pemikiran ekonomi dan pembangunan Orde Baru dituduh sebagai didominasi oleh pemikiran kelompok "Berkeley Mahfia", karena Widjojo dan kawan-kawannya, adalah lulusan Universitas Berkeley, AS, yang tentunya membawa aliran pemikiran dari universitas di mana mereka dididik.

Tuduhan itu timbul karena pengamat asing itu tidak mengetahui sejarah, khususnya sejarah perekonomian dan sejarah intelektual di Indonesia dimana cendekiawan Widjojo tumbuh. Sebelum menjadi mahasiswa Universitas Berkeley, Widjojo dan kawan-kawannya yang disebut teknokrat itu, terlebih dahulu adalah murid Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang pada awal tahun '50-an, membentuk "Jakarta School of Economics" pada Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Widjojo muda, sudah tentu membaca perdebatan publik tentang kebijaksanaan ekonomi-pembangunan pada waktu itu, khususnya yang pernah terjadi antara Sjafruddin Prawiranegara dan Sumitro Djojohadikusumo. Dan ia sendiri pernah terlibat dalam perdebatan dengan mantan Perdana Menteri Wilopo dalam suatu seminar mengenai interprestasi Pasal 33 UUD '45, dimana telah nampak garis pandangannya mengenai sistim ekonomi Indonesia.

Ilmu pengetahuan, termasuk ilmu ekonomi pembangunan di Indonesia, adalah hasil dari suatu proses akumulasi. Jika kita mengacu kepada teori sejarah Hegel, maka ilmu pengetahuan yang kita peroleh sekarang ini, tentang pembangunan ekonomi di Indonesia, adalah hasil dari proses interaksi tesis-antitesis yang menghasilkan sintesa. Para teknokrat perintis kebijaksanaan pembangunan-ekonomi Orde Baru mengalami sosialisasi dalam proses dialektis sejarah tersebut. Pemikiran tentang pembangunan ekonomi Orde Baru juga merupakan hasil dari proses itu.

Pada tahun 1952 pernah terjadi perdebatan publik antara Sjafruddin Prawiranegara dengan Sumitro Djojohadikusumo. Debat besar tersebut berawal dari tulisan Sjafruddin di Harian Abadi (6, 7, 8 Maret 1952) yang berjudul "Herorientasi di Lapangan Pembangunan Ekonomi" yang ditanggapi oleh Sumitro Djojohadikusumo. Agaknya Sumitro bereaksi karena ia merasa bahwa sebagian kritik terhadap kebijaksanaan ekonomi pemerintah (pada waktu itu kabinet cepat jatuh bangun, sehingga posisi seseorang juga berubah dari duduk di pemerintahan ke oposisi) yang terkandung dalam tulisan itu tertuju kepadanya, ketika ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dalam Kabinet Natsir ketika Sjafruddin sendiri menjadi Menteri Keuangan. Dalam pengantar karangannya yang berjudul "Sekitar Pembangunan Ekonomi: Catatan tentang Pandangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara", Sumitro mengakui bahwa "disamping beberapa persesuaian faham" ia memandang adanya "perbedaan azasi dalam dasar dan cara pandangnya". Dengan kata-kata lain, Sumitro melihat adanya perbedaan wawasan di sekitar pembangunan ekonomi antara dia dengan Sjafruddin. Perbedaan wawasan itu agaknya dipengaruhi oleh posisi masing-masing maupun latar belakang hidup atau pendidikan yang bersangkutan.

Sjafruddin, setelah lepas dari kedudukan Menteri Keuangan, ditunjuk oleh Presiden Soeharto sebagai Presiden De Javasche Bank dan kemudian Gubernur Bank Sentral di masa Kabinet Sukiman Wirjosandjojo yang melakukan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank. Walaupun Kabinet Sukiman dan bahkan Wakil Presiden Hatta sendiri mempunyai pandangan lain tentang siapa yang pantas menduduki jabatan itu, namun karena kepercayaan pemerintah Belanda terhadap Sjafruddin yang lurus, maka pada akhirnya tokoh yang sebelumnya pernah juga menjabat Menteri Keuangan pada Kabinet Sjahrir tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran pada Kabinet Hatta, tahun 1949 itulah yang dapat diterima, baik oleh pemerintah Belanda maupun pemerintah Indonesia sendiri sebagai Presiden De Javasche Bank yang telah dinasionalisasi.

Sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI), yakni Bank Sentral yang baru, ia berpegang pada UU No.11 Tahun 1953 yang ia ikut merumuskannya. Tugas utamanya sebagai Gubernur BI adalah menjaga nilai mata uang Rupiah. Namun dalam memimpin BI, ia mempunyai wawasan tersendiri dan sangat mewarnai visi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral.

Sebagai teknokrat, Glassburner, menyebut Sjafruddin sebagai penganut pandangan ekonomi Neo-Klasik. Dari kinerjanya hingga tahun 1958, ia disebut juga sebagai "the guardian of economic stability". Hal itu disebabkan karena ia berpendapat bahwa salah satu misi BI yang utamanya adalah menjaga stabilitas ekonomi nasional. Dalam menjalankan peranannya itu Sjafruddin nampak tegar dalam bersikap otonom, terutama terhadap pemerintah. Tetapi ia menciptakan forum koordinasi antara BI dan pemerintah dalam lembaga yang disebut Dewan Moneter dalam menentukan kebijaksanaan moneter yang harus disetujui oleh kedua belah pihak.

Sebagai pejabat yang bertanggungjawab menjaga stabilitas ekonomi, ia mengambil kebijaksanaan anti-inflasi yang ketat. Sikap inilah yang sering menimbulkan kritiknya terhadap kebijaksanaan pemerintah, khususnya kebijaksanaan fiskal yang ekspansif. Tentang APBN ia menghendaki dilaksanakannya prinsip anggaran berimbang (balanced budget) secara ketat. Sebab pengeluaran pemerintah yang sering ekspansif, menurut observasinya, selalu menimbulkan bahkan menjadi sumber utama inflasi. Oleh sebab itu ia mengambil sikap "Retreat from Keynes" --yakni satu diantara tiga piler Reaganomics-- karena aliran Keynesian cenderung menganjurkan pembelanjaan defisit guna mencapai pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja penuh itu. Disinilah ia bersinggungan dengan Sumitro yang karena posisinya pula oleh Sjafruddin dianggap sebagai penganut ekonomi Keynesian.

Dalam kaitannya dengan tugasnya untuk menjaga nilai mata uang Rupiah, Sjafruddin juga sangat berkepentingan terhadap posisi Neraca Pembayaran. Ia melihat bahwa Program Benteng -- yakni program yang memberi kesempatan kepada pengusaha pribumi dan BUMN, dengan cara mengambilalih peranan The Big Five atau The Big Ten, perusahaan-perusahaan besar milik Belanda itu -- cenderung untuk meningkatkan sektor perdagangan, khususnya impor. Politik ekonomi Benteng ini adalah program andalan Sumitro, walaupun gagasan awal program ini sudah mulai dikembangkan oleh Ir. Djuanda sebagai Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Hatta II. Sumitro sendiri sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian, sebenarnya sangat jeli dalam melihat sektor perdagangan sebagai sumber akumulasi modal untuk memperkuat posisi ekonomi pribumi, apalagi perdagangan adalah kegiatan yang relatif mudah dijalankan. Lagi pula, dilihat dari sudut strategi bisnis, kekuatan ekonomi pribumi harus menguasai mata-rantai perdagangan, dengan terlebih dahulu menguasai perdagangan impor yang lukratif itu. Hanya saja bagi Sjafruddin, kecenderungan ini bisa memanaskan perekonomian (over-heated) yang memicu permintaan kredit dari bank -- yang pada waktu itu didominasi oleh bank-bank pemerintah -- yang dipergunakan untuk importasi barang-barang, khususnya barang-barang konsumsi. Sementara itu sumber devisa kita masih sangat terbatas. Kenaikan ekspor di masa Korean-Boom tahun 1951, yang menciptakan surplus dalam neraca perdagangan itu dinilai Sjafruddin bersifat sementara. Dengan perkataan lain, Sjafruddin mengkhawatirkan terjadinya defisit dalam neraca perdagangan dan neraca pembayaran yang merupakan ancaman serius terhadap nilai mata uang rupiah.

Sjafruddin juga mempunyai pandangan yang tersendiri tentang berbagai kebijaksanaan pembangunan ekonomi, misalnya, ia menganut prinsip keuntungan komparatif dalam proses industrialisasi, menolak kebijaksanaan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, bahkan sebaliknya menganjurkan pengundangan modal asing yang diatur dalam suatu UU Penanaman Modal Asing, membatasi pendirian BUMN dan menganjurkan pembangunan pertanian, terutama untuk mencapai swasembada pangan sebagai prioritas pembangunan, menjadi landasan industrialisasi. Kadang terkesan seolah-olah ia menolak industrialisasi, tetapi sebenarnya ia lebih suka menyerahkan pembangunan industri kepada modal asing dan sektor swasta domestik. Sjafruddin juga cenderung untuk mengarahkan kredit perbankan kepada sektor pertanian dan industri kecil, sebagai wujud perhatiannya kepada sisi penawaran (supplay-side). Itu semua dengan maksud untuk meningkatkan produksi di bidang-bidang yang dikuasai oleh rakyat dan sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat. Dalam tahap awal pembangunan, Sjafruddin juga punya pandangan tentang perlunya pembinaan sumber daya manusia, bahkan pemerintah perlu turun tangan langsung dalam pembinaan sumber daya manusia ini. Penjelasan mengenai wawasan Sjafruddin ini akan lebih bermakna dengan menguraikan wawasan lawan debat publiknya, Sumitro Djojohadikusumo.

Menurut Sjafruddin, Sumitro adalah penganut aliran ekonomi Keynisian yang memandang penting peranan pemerintah dalam membangkitkan pertumbuhan ekonomi. Sumitro tidak saja memandang penting peranan pemerintah sebagai regulator, melainkan juga sebagai aktor, lewat pengembangan BUMN. Sumitro sebenarnya tidak keberatan terhadap prinsip anggaran berimbang, tetapi anggaran berimbang itu hendaknya jangan dijadikan dogma. Kalau perlu, pemerintah bisa melakukan anggaran defisit, asalkan benar-benar diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan eksempatan kerja.

Sebagai tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sumitro memang mempunyai pandangan sosialis. Tetapi ia juga memiliki sikap nasionalisme ekonomi yang kuat. Ia adalah penganjur nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, untuk diambil alih usahanya oleh BUMN atau kelompok swasta nasional. Bahkan ia memiliki komitmen kuat untuk membina kekuatan pribumi, dengan memberikan peluang-peluang bisnis yang menguntungkan. Untuk itulah ia memulai Politik Benteng yang terkenal dan diteruskan oleh kabinet-kabinet sesudahnya itu.

Pada waktu menjabat Menteri Perdagangan dan Perindustrian, Sumitro meluncurkan program Urgensi Industri, yang mencakup pembangunan industri skala kecil, menengah maupun besar, menurut ukuran pada waktu itu. Program ini dilatarbelakangi oleh analisisnya, bahwa sektor pertanian kurang memberi harapan bagi peningkatan kemakmuran rakyat. Pandangan ini bersumber dari penelitian disertasinya di Universitas Rotterdam tentang Bank Perkreditan Rakyat di masa Depresi. Di masa itu sektor pertanian mengalami keruntuhan di seluruh dunia. Oleh karena itulah, dalam rangka menjawab persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh Depresi itulah, maka Pemerintah Kolonial Belanda memulai program industrialisasinya, setelah lama dihambat sejak Politik Etis 1904 yang memusatkan perhatiannya pada pembangunan sektor perkebunan dan pertanian rakyat. Menurut Sumitro guna mencapai kemakmuran rakyat secepatnya, Indonesia harus langsung memasuki tahap pembangunan industri substitusi impor, guna menggantikan barang-barang yang selama itu diimpor, karena sektor pertanian kurang memberikan harapan.

Pandangan Sumitro pada waktu itu dipandang sangat maju, lebih maju dari pandangan Hatta umpamanya. Tapi program Urgensi Industri-nya mengandung konsekuensi di bidang teknologi dan sumber daya manusia yang pada waktu itu masih sangat terkebelakang. Posisi wawasan Sumitro pada waktu itu mirip dengan posisi wawasan Habibie sekarang yang menganjurkan industrialisasi yang menghasilkan nilai tambah tinggi. Pada waktu itu, alasan kaum penganjur industrialisasi adalah karena sektor pertanian dinilai menghasilkan nilai tambah yang rendah, sedangkan sektor industri menjanjikan nilai tambah yang lebih tinggi. Di samping itu sektor industri memiliki elastisitas pendapatan terhadap permintaan (income elasticity of demand) yang lebih tinggi dari pada pertanian. Jika tingkat pendapatan meningkat, maka perubahan permintaan terhadap hasil pertanian tidak sebanding dengan peningkatan itu. Sedangkan perubahan permintaan terhadap barang-barang industri lebih tinggi proporsinya dari peningkatan pendapatan. Sehingga karena itu sektor industri memiliki prospek yang lebih luas dan cerah di masa datang.

Bagi Sjafruddin, pandangan Sumitro itu merupakan lompatan. Pertama, bagi Sjafruddin, Indonesia harus memilih komoditi yang paling mungkin dan paling mampu Indonesia membuatnya, dalam arti penting mampu memproduksi dengan ongkos serendah-rendahnya, sehingga mampu bersaing di pasaran domestik maupun luar negeri. Jika tidak, maka lebih menguntungkan apabila barang yang dibutuhkan itu diimpor saja, karena hal itu menguntungkan konsumen. Jika produksi itu dipaksakan, maka hal itu akan membebani konsumen.

Menurut Sjafruddin, pada waktu itu Indonesia memiliki keuntungan komparatif di bidang perkebunan. Oleh karena itu, pembangunan sektor perkebunan perlu mendapatkan prioritas. Hasil perkebunan itu terutama bisa diekspor, sedangkan hasil industri Indonesia hanya untuk pasar domestik saja. Pembangunan perkebunan akan meningkatkan ekspor dan menghasilkan devisa. Peningkatan peroleh devisa itu akan lebih mengamankan neraca perdagangan dari defisit yang diakibatkan oleh perkembangan impor.

Sjafruddin menolak kebijaksanaan nasionalisasi yang tidak urung dilaksanakan juga oleh Presiden Soekarno secara besar-besaran dan drastis pada tahun 1957 itu. Sebab nasionalisasi akan menguras keuangan negara, padahal penghasilan negara dari pajak masih sangat terbatas. Lagi pula kita masih kekurangan dan membutuhkan modal asing. Mengapa modal yang sudah ada harus diusir dari Indonesia? Padahal masalah Indonesia bukannya kelebihan, melainkan kekurangan modal. Oleh sebab itu, melawan arus nasionalisme ekonomi pada waktu itu, Sjafruddin justru menganjurkan penanaman modal asing. Dari kacamata Gubernur Bank Sentral, aliran modal yang diakibatkan penanaman modang asing akan memperkuat posisi neraca pembayaran dan selanjutnya memperkuat pula posisi rupiah. Bagi Sjafruddin tidak soal modal siapa, asal saja ditanamkan di Indonesia dan meningkatkan produksi nasional maka modal itu harus dipandang sebagai modal nasional. Pandangan Sjafruddin tersebut sejalan dengan kecenderungan liberalisasi ekonomi dewasa ini yang mengharuskan dihapuskannya diskriminasi modal asing berhadapan dengan modal dalam negeri.

Bagi Sumitro, ketika menanggapi tiga pola alternatif industrialisasi yang dianut kuat sekarang, suatu strategi industrialisasi mengandung dua faktor pembatas. Pertama adalah kelangkaan sumber daya dan dana. Kedua, mendesaknya lapangankerja produktif bagi penduduk yang semakin bertambah. Jika peringatan tersebut dihadapkan kepada strategi pohon industri dan strategi industrialisasi teknologi tinggi yang dianjurkan Habibie, maka kita harus memperhitungkan faktor keterbatasan sumber daya, khususnya modal finansial. Juga, dalam menghadapi kebutuhan penciptaan lapangan kerja, setiap rencana industri harus mengandung tujuan penciptaan kesempatan kerja.

Posisi yang diambil oleh Sumitro di atas adalah sama dengan posisi Sjafruddin yang dulu ditentangnya. Dalam menghadapi gagasan Sumitro di waktu itu, Sjafruddin juga mengingatkan adanya beberapa kendala. Pertama, permodalan yang di waktu itu langka, baik di sektor negara maupun swasta domestik. Karena itu Sjafruddin cenderung kepada modal asing. Kedua, kendala sumber daya manusia yang mampu mendukung industri. Karena itu Sjafruddin menganjurkan agar kita belajar terlebih dahulu dari orang asing, baik di bidang teknologi maupun manajemen modern, melalui operasi modal asing di Indonesia yang menanamkan modalnya di bidang industri. Dengan perkataan lain diperlukan terlebih dulu pembinaan mutu SDM sebagai prasyarat industrialisasi. Ketiga, desakan untuk menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan memperkuat daya beli masyarakat yang menjadi konsumen produk ISI. Karena itu Sjafruddin berpendapat bahwa dana pemerintah di sektor anggaran dan perbankan yang terbatas itu lebih baik apabila dipergunakan untuk membangun sektor pertanian yang mampu meningkatkan produksi pangan dan bahan baku industri serta untuk mengembangkan industri yang sudah ada dan memiliki keuntungan komparatif.

Dengan perkataan lain, Sjafruddin menganjurkan agar pilihan untuk investasi di bidang industri dilakukan melalui mekanisme pasar berdasarkan prinsip keuntungan komparatif. Perencanaan pemerintah yang melakukan intervensi dan pengarahan investasi, terutama dengan menugaskan BMUN, agar dihindari. Sebab intervensi itu akan mengandung bias kekuasaan dan karena itu bisa tidak obyektif dalam perspektif komparatif. Dalam konteks sekarang, pandangan teknokrat agaknya sejalan dengan pandangan Sjafruddin, misalnya dalam menilai rencana industrialisasi dalam pola "pohon industri" atau pendalaman struktur industri maupun terhadap wawasan transformasi industri dan teknologi.

Perdebatan mengenai strategi industrialisasi di sekitar isu yang serupa terjadi pula di RRC dalam dasawarsa '50-an dan awal '60-an. Di satu pihak terdapat pandangan yang menginginkan agar pengembangan industri ditekankan pada industri ringan dan industri kecil. Pandangan ini dianut oleh Mao Ze Dong. Di lain pihak terdapat pandangan yang juga cukup kuat agar industrialisasi di RRC mengikuti pola Rusia model Stalinis yang dianut di Dunia Ketiga oleh India dan dilaksanakan di Indonesia dalam proyek industri besi-baja Cilegon yang sekarang dikelola oleh PT Krakatau Steel, salah satu industri di bawah BPIS itu. Tokoh Liu Sao Chi dan Lin Pio di belakang pendirian ini yang didukung oleh kelompok militer yang promodernisasi. Pandangan kedua itu menghendaki lompatan jauh ke muka (great leap forward) untuk mengejar ketertinggalan teknologi dengan membangun terlebih dahulu industri berat dan industri strategis sebagai basis pengembangan industri hilir. Negara mengambil peranan di muka untuk menangani misi tersebut. Masalahnya adalah dari mana diperoleh sumber dana untuk membiayai proyek yang mahal itu.

Argumen Mao bertumpu pada penilaian bahwa industri ringan dan industri kecil, dan juga sektor pertanian yang menjadi perhatian Mao, adalah sektor-sektor yang bisa dikerjakan, dan RRC memiliki keuntungan komparatif. Modalnya kecil atau tidak begitu besar, sehingga dapat disediakan oleh pemerintah atau koperasi mampu menghimpunnya. Teknologinya juga masih dapat dijangkau oleh sumber daya manusia yang tersedia dan pemerintah mudah mengembangkannya. Pertumbuhan industri ringan dan kecil diperkirakan cepat. Dari hasil pertumbuhan itulah dapat dilakukan akumulasi modal untuk investasi selanjutnya. Jadi sebelum berfikir mengenai pengembangan industri berat atau industri strategis, Mao telah memikirkan sumber pembiayaan industrialisasi tahap berikutnya.

Pandangan Sumitro sekarang mirip dengan wawasan industri Mao yang mengajukan kendala industrialisasi yang perlu diperhatikan, yakni kendala pembiayaan dan tekanan untuk menciptakan lapangan kerja untuk penduduk RRC yang sangat besar itu. Pandangan kedua tokoh di atas juga sejalan dengan pandangan Sjafruddin di tahun '50-an yang memikirkan soal pembiayaan industrialisasi. Pandangan kelompok teknokrat di sekitar Widjojo, sejalan dengan pandangan-pandangan di atas, yakni mempermasalahkan faktor pembiayaan terhadap program Habibie.

Widjojonomics yang dimulai sejak awal Orde Baru dengan Peraturan 3 Oktober 1967 itu, dan terus berlangsung dan dianut hingga kini, terutama oleh ekonom perguruan tinggi, khususnya UI, sebenarnya lebih cenderung kepada wawasan Sjafruddin yang liberal daripada kepada Sumitro yang notabene adalah guru kaum teknokrat kelompok Widjojo sendiri. Hanya saja, Widjojo tidak sepenuhnya "retreat from Sumitro". Bahkan Widjojonomics juga masih menampung pemikiran Hatta, yang dalam tinjauan ini tidak dibahas.

Jika digambarkan dalam suatu bagan, maka posisi pandangan Sjafruddin berada di sisi paling kanan dalam spektrum wawasan perekonomian nasional, dalam arti paling liberal. Pemihakannya terhadap pelaku ekonomi dalam perekonomian nasional lebih mengarah ke sektor swasta yang dipandang paling produktif dan efisien, kemudian koperasi dan baru terakhir sektor negara. Berhadapan dengan itu, Hatta menduduki posisi paling kiri, dalam arti paling sosialis kerakyata. Hatta jelas berpihak kepada koperasi, kemudian BUMN, dan paling akhir swasta. Sementara itu Sumitro berada di tengah-tengah. Sumitro sebagai seorang Keynesian memandang penting peranan negara dan pemerintah. Bagi Sumitro APBN merupakan instrumen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Ia adalah juga pembina gigih BUMN dan penganjur nasionalisasi. Tetapi ia juga memperhatikan peranan koperasi, sebagai wadah perekonomian rakyat. Sebagaimana halnya Hatta, Sumitro sangat kritis dalam memandang peranan swasta, walaupun ia sendiri pernah membina swasta pribumi, dengan program Benteng-nya maupun di zaman Orde Baru, ketika ia menjadi Menteri Perdagangan yang membina sindikat-sindikat perdagangan di tangan pribumi.

Widjojonomics mengambil dan mengembangkan tiga aliran pemikiran ekonomi di atas. Dengan UU PMA No. 1/1967 dan UU PMDN No. 1/1968, ia mulai memberi kesempatan kepada swasta asing maupun domestik, khususnya dari kalangan etnis Cina, untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Namun ia juga menampung aspirasi kelompok lain yang ingin mengembangkan koperasi dengan tokohnya seperti Ibnu Soedjono dan Prof. Soedarsono dari UGM yang mewarisi gagasan Hatta. Sesuai dengan tempat mereka masing-masing Widjojo juga masih memperhatikan peranan BUMN, yang diisyaratkan dalam UUD'45 pasal 33 ayat 2 dan telah menjadi aset ekonomi nasional itu. Di sini nampak peranan Presiden Soeharto yang berperan merengkuh aspirasi-aspirasi lain di luar aspirasi kelompok tehnokrat UI yang lebih cenderung kepada peranan swasta itu. Dalam kerangka sistem ekonomi, sektor koperasi merupakan wahaya petani dan pengusaha kecil, sedangkan sektor negara menangani sektor-sektor strategis, sektor-sektor perintis, sektor pelayanan umum dan pengelola sumber daya alam.

Hingga tahun 1987, Soehartonomics, yakni strategi pembangunan yang ditempuh oleh pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, praktis identik dengan Widjojonomics. Karena itu maka pada waktu itu belum terpikir oleh orang untuk mengeluarkan istilah Soehartonomics. Baru setelah nampak muncul pola-pola baru, yakni dari kalangan insinyur di lingkungan Departemen Perindustrian dan dari Habibie yang membawahi Kantor Menteri Riset dan Teknologi/Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT), maka muncul kebutuhan untuk merangkum semua aliran itu ke dalam Soehartonomics. Sebenarnya, Presiden Soeharto hanyalah mandataris MPR dan berkewajiban menjalankan kebijaksanaan pembangunan yang dirumuskan dalam GBHN. Namun peranan Presiden Soeharto dalam merintis kebijaksanaan yang akhirnya dikukuhkan dalam GBHN itu sangat penting.


III

Reaksi terhadap Widjojonomics baru muncul pada tahun 1978. Tetapi sebenarnya, pandangan yang timbul cukup beragam. Pada tahun 1974 timbul protes terhadap dominasi penanaman modal asing, khususnya Jepang, yang dinilai memarginalisasikan industri kecil di berbagai sentra produksi seperti Pekalongan, Tasikmalaya, Cibaduyut, Ciomas, Jepara, Yogya, Solo, Ponorogo atau di Jakarta sendiri dan kota-kota besar lainnya di luar Jawa seperti Medan dan Ujungpandang. Protes itu bahkan berkembang menjadi aksi sosial yang menimbulkan peristiwa Malari di Jakarta.

Pada pertengahan dasawarsa '70-an, timbul minat di kalangan Perguruan Tinggi dan LSM untuk menyelidiki masalah dampak pembangunan yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi terhadap timbulnya kemiskinan. Pada waktu itulah mencuat nama-nama seperti Prof Sayogyo dari IPB dan Hendra Esmara dari Universitas Andalas yang menampilkan konsep garis kemiskinan untuk mengukur tingkat kemiskinan dan Sritua Arief dari Lembaga Studi Pembangunan (LSP) yang melansir isu kesenjangan dan ketergantungan ekonomi. Sebenarnya sejak awal dasawarsa itu dalam lingkup Dunia Ketiga telah terdengar gugatan Dr. Mahbub al Huq terhadap strategi pembangunan yang menghasilkan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, dan ia mencoba menarik perhatian orang untuk menengok strategi pembangunan RRC yang memerangi kemiskinan secara langsung (direct attack on poverty). Ia sendiri pada waktu itu menjabat Direktur Perencanaan Pembangunan pada Bank Dunia dan mantan Ketua Badan Perencanaan Pusat Pakistan di masa kepresidenan Jenderal Ayub Khan. Kemudian terbit bukunya "Poverty Curtain" yang mengungkap "tujuh dosa kaum teknokrat" yang juga "dosa"nya sendiri itu. Di Indonesia, serangan Mahbub tersebut dibelokkan kepada kelompok teknokrat di sekitar Prof Widjojo Nitisastro, mantan Ketua Bappenas yang kemudian menjadi Menteri Koordinator Ekonomi-Keuangan Kabinet Pembangunan II.

Pemerintah dan MPR dengan cepat merespon suara-suara itu, maka lahirlah pada tahun 1978 konsep Delapan Jalur Pemerataan, demikian pula MPR melahirkan GBHN 1978 yang merangkum aspirasi tersebut. Selanjutnya, Kabinet Pembangunan III dikenal sebagai "kabinet pemerataan" karena melancarkan program-program pemerataan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Kemauan politik Pemerintah dalam melancarkan program pemerataan tersebut kebetulan didukung oleh dana migas yang cukup melimpah, baik sebagai dampak Oil-Boom 1974 maupun 1979.

Namun perkembangan tersebut terjadi ketika kelompok Widjojo telah mundur peranannya, setidak-tidaknya kelompoknya telah berbagi kekuasaan dengan kelompok-kelompok pesaingnya dalam kabinet. Pada waktu itu muncul kekuatan baru dalam manajemen pembangunan, yaitu Ir. Soehoed yang menjadi Menteri Perindustrian dari CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang berada di bawah bayang-bayang Jenderal Ali Moertopo dan Dr. B.J. Habibie yang memegang Kantor Menteri Riset dan Teknologi dengan program pengembangan teknologi canggihnya. Barangkali dalam kaitan ini perlu dicatat munculnya Ginandjar Kartasasmita yang ditunjuk sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri pada Kabinet Pembangunan IV, yang diam-diam membina pengusaha-pengusaha pribumi itu. Tapi kemunculan kantor menteri muda tersebut dapat dikaitkan dengan strategi pendalaman struktur industri yang lagi marak dan berpusat di Departemen Perindustrian itu.

Peranan kelompok teknokrat mulai bangkit lagi sejak resesi perekonomian dunia yang mencapai titik nadirnya pada tahun 1982, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 2,3%, tetapi inflasi 9,7%. Sebagai respon terhadap situasi itu timbul kembali perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi melemahnya keuangan negara, karena merosotnya penerimaan migas dan rendahnya penerimaan pajak, timbul gagasan untuk meningkatkan peranan swasta. Merosotnya harga minyak bumi juga menyadarkan kelalaian Pemerintah dalam membina ekspor non-migas. Penyadaran ini sempat diucapkan oleh Prof Widjojo dalam suatu Konferensi ESEI di Yogya pada tahun 1980-an. Dalam situasi itu, bangkit kembali peranan teknokrat yang ditandai oleh lahirnya paket kebijaksanaan Deregulasi Moneter 1983 dan Reformasi Perpajakan 1984.

Namun sejak 1978, konsep baru dalam strategi industrialisasi telah dilaksanakan. Pelaksanaan strategi yang melahirkan kebijaksanaan subsidi dan proteksi tersebut, baik terhadap program pendalaman struktur industri maupun transformasi industri dan teknologi dimungkinkan oleh dana anggaran yang cukup besar, yang berasal dari hasil penerimaan migas, sebagaimana program pemerataan juga dimungkinkan oleh dana yang berasal dari utang luar negeri. Tetapi dengan terjadinya krisis anggaran dan merosotnya penerimaan devisa dari penjualan migas yang harganya melorot itu, timbullah persepsi tentang kendala pendanaan pembangunan. Maka pada tahun 1985, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 2,5% dan tingkat inflasi 4,3%, tetapi sebelumnya 8,7% dan 11,5% itu, lahirlah peringatan Prof Sumitro tentang kendala dana dalam pembiayaan strategi industrialisasi. Ketika itu begawan ekonomi Indonesia itu juga memperingatkan, bahwa subsidi dan proteksi terhadap industri mempunyai batas waktu. Jika tidak, maka negara dan rakyatlah yang harus membayar.

Tapi lepas dari mengingat atau tanpa mengingat kendala dana, perkembangan strategi industrialisasi itu sebenarnya telah menempuh jalan yang tepat. Periode 1969-1978 adalah tahap pelaksanaan strategi ISI tahap I. Sejak 1978 pemerintah harus memasuki strategi ISI tahap II. Misi tahap pertama adalah mengganti barang-barang konsumsi dalam industri hilir yang semula diimpor. Sedangkan misi tahap kedua adalah mengganti barang-barang antara dan barang modal di wilayah hulu. Ketepatan strategi itu dapat dilihat apabila kita memperhatikan isu ketergantungan teknologi (technological dependence) negara-negara sedang berkembang terhadap negara-negara industri maju. Sejarah perekonomian barangkali bisa menjelaskan persoalannya.

Ketika negara-negara terjajah mulai memperoleh kemerdekaannya sejak Perang Dunia II, sudah dapat diantisipasi bahwa negara-negara sedang berkembang akan menempuh strategi ISI. Antisipasi ini timbul berdasarkan pengalaman pembangunan di Amerika Latin yang sudah bisa merdeka dari penjajahan sebelum Perang Dunia II.

Sudah dapat diperkirakan oleh negara-negara industri maju bahwa negara-negara Asia akan mengikuti negara-negara Amerika Latin, yakni akan melakukan industrialisasi guna menggantikan barang-barang yang tadinya diimpor dengan produksi dalam negeri. Tetapi untuk membangun perekonomian nasional dengan industrialisasi, pemerintah negara-negara sedang berkembang perlu membangun prasarana dan sektor pendukung, yakni pertanian dan pertambangan. Untuk itu diperlukan modal yang besar yang tidak dimiliki oleh pemerintah maupun masyarakat negara yang baru saja merdeka itu. Berdasarkan teori saving gap dan foreign exchange gap dalam kaitannya dengan kebutuhan investasi, negara-negara industri memperkirakan kebutuhan dana pembangunan yang diperlukan oleh negara-negara yang akan membangun.

Maka demi kepentingan perkembangan ekonomi yang berkelanjutan, negara-negara industri maju merasa perlu merubah sikap, yakni dengan menawarkan bantuannya. Tetapi bantuan itu diikuti dengan syarat. Jika negara-negara sedang berkembang akan menyetop importasi barang-barang konsumsi dan ingin membangun industri substitusi impor, maka negara-negara industri maju harus diperbolehkan untuk membantu pembangunan industri yang menghasilkan barang-barang pengganti impor tersebut. Dengan perkataan lain, negara-negara sedang berkembang harus memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan asing untuk melakukan penanaman modal. Hal itulah yang pertama-tama dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru pada tahun 1967. Sejalan dengan meningkatnya industrialisasi ISI, impor barang-barang konsumsi mulai berkurang.

Dengan melakukan penanaman modal, maka negara-negara industri maju masih bisa mempertahankan ekspornya. Tetapi mereka tidak lagi mengekspor barang-barang konsumsi, melainkan bahan baku, bahan penolong, alat-alat transportasi dan industri serta mesin-mesin yang harganya lebih mahal. Dengan mengekspor barang-barang modal, nilai ekspor negara-negara industri justru lebih besar.

Sementara itu dengan pembangunan ISI, impor barang-barang modal negara-negara sedang berkembang memang bisa berkurang, kalau tidak secara absolut, secara relatif. Tetapi nilai impor barang-barang modal meningkat lebih pesat. Itulah yang terjadi hingga kini dan baru disadari konsekuensinya terhadap perekonomian nasional sejak 1978 atau sebelumnya. Kesadaran itulah yang melatarbelakangi lahirnya konsep pendalaman struktur industri dan transformasi industri dan teknologi tahun 1978. Dengan perkataan lain, kebijaksanaan industrialisasi telah mulai memasuki ISI tahap ke II, yakni substitusi barang-barang antara dan modal yang semula diimpor. Dalam beberapa sektor, Indonesia memiliki keuntungan komparatif, misalnya dimilikinya minyak bumi, sebagai bahan industri petro-kimia, seperti pupuk, serat sintetis untuk tekstil dan plastik.

Dalam pandangan kubu teknologi, industrialisasi yang berpegang pada prinsip keuntungan komparatif dalam jangka panjang akan mengalami jalan buntu, karena ketergantungan teknologi akan cunderung meningkatkan impor lebih tinggi dari kemampuan ekspor untuk berkembang. Jalan keluarnya adalah memperdalam struktur industri dengan melihat keterkaitan antar sektor secara vertical atau huluhilir dalam suatu pohon industri yang memiliki akar maupun dahan dan ranting.

Tapi strategi alternatif kedua itu Toronto juga menjumpai sejumlah kendala. Pertama, ISI tahap II Toronto juga tidak mengurangi ketergantungan impor barang modal, bahkan nilai impor barang modal untuk industri hulu, justru lebih besar lagi. Kedua, ISI tahap lI ini sering tidak mempedulikan prinsip keuntungan komparatif. Akibatnya justru industri hilir dibebani dengan biaya bahan baku dan mesin-mesin. Pada akhirnya konsumen jua yang menanggung harga barang yang lebih mahal dari barang impor. Ketiga, industri yang diproteksi dan disubsidi itu sebenarnya tidak kompetitif di pasar dalam Nigeria maupun luar Nigeria, apalagi jika subsidi dan proteksi itu dicabut. Padahal, produk industri itu perlu diekspor guna memperoleh devisa yang dipergunakan untuk mengimpor bahan-bahan yang diperlukan oleh industry sendiri.

Kegagalan, baik pada strategi berdasarkan prinsip keuntungan komparatif maupun strategi pendalaman industry tersebut merangsang pencarian alternatif baru. Acuannya adalah masalah ketergantungan teknologi yang menjadi sumber kemacetan pembangunan dalam jangka panjang. Dalam makalahnya yang berjudul "Pembangunan Berorientasi Nilai Tambah" yang sebenarnya telah dikemukakannya pada tahun 1990, Habibie berujar:

Keberhasilan pembangunan negara-negara berkembang dalam tiga dekade terakhir ternyata tidak menyurutkan ketergartunganya pada negara-negara maju. Lemahnya infrastruktur ilmu pengetahuan dan teknologi serta rendahnya kapabilities sumber daya manusia negara-negara tersebut dipandang sebagai penyebab utama rendahnya daya saing mereka di pasar global.

Masalah ketergantungan teknologi yang menyebabkan negara-negara sedang berkembang makin tertinggal dalam perkembangan ekonomi dan makin tergantung, sehingga makin merugikan negara-negara sedang berkembang dalam hubungannya dengan negara-negara maju, mendorong Habibie untuk mencari alternatif ketiga.

Alternatif ketiga memberi jalan keluar dengan konsep strategi lompatan. Asumsinya adalah bahwa negara-negara sedang berkembang tidak bakal mampu mengejar perkembangan teknologi, jika berkembang menurut garis linier. Untuk mengejarnya. harus diciptakan garis perkembangan exponensial, dengan melakukan apa yang disebut oleh Habibie "accelerated evolution" atau evolusi yang dipercepat. Evolusi yang dipercepat tersebut tidak sama dengan "lompatan katak" (leap frogging). Sebab lompatan katak bersifat acak dan tak dapat diperkirakan. Sedangkan evolusi yang dipercepat tidak acak karena gerakannya dikendalikan dan diperkirakan. Hal ini berarti mengurangi resiko dan biaya transformasi yang tinggi.

Dalam mengemukakan alternatifnya tersebut, Habibie memang melontarkan kritik terhadap konsep strategi konventional, khususnya yang mendasarkan diri pada prinsip keuntungan komparatif saja. Strategy ini menurut Habibie hanya berpedoman pada tolok ukur pendapatan nasional atau produksi nasional saja. Indikator itu sebenarnya tidak ditolaknya, tetapi ia mengusulkan indikator lain. Untuk bisa menilai kemampuan membangun suatu bangsa, ia menambahkan indikator lain dalam suatu kesatuan ekonomi makro. Yaitu indikator "Productivities Prestasi Nasional" (PPN) dan indikator "Pertumbuhan Produktivitas Prestasi Nasional". Indikator satu dalam dua itu merupakan perpaduan dari produktivitas tenaga kerja (labour productivity) dan produktivitas modal (capital productivity) dalam bentuk prasarana, sarana dan mesin.

Menurut pendapat Habibie, PPN dan pertumbuhan PPN merupakan alternatif yang lebih tepat untuk menilai kemampuan membangun suatu bangsa (makro) dan perusahaan (mikro) serta untuk memperkirakan kinerjanya di masa depan. Sebab mungkin saja suatu bangsa memiliki PDB besar, tetap PPN dan delta PPNnya rendah. Dalam jangka pinjang negara ini akan dapat dilampaui perkembangannya oleh negara yang walaupun mempunyai PDB kecil, tetapi PPN dan delta PPNnya tinggi. Dengan begitu ia ingin menawarkan sebuah strategi alternatif yakni:

Suatu strategi pembangunan alternatif yang berorientasi pada optimalisasi kemampuan sumber daya manusia dalam memanfaatkan teknologi dan aneka sumber daya yang tersedia. Dengan demikian hal itu diharapkan bisa menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan, dengan nilai tambah yang tinggi, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Itulah rumusan pendapatnya tentang strategi pembangunan yang mengandalkan pertama-tama kepada mutu sumber daya manusia. Berdasarkan kemampuan sumberdaya manusia itu dapat dioptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya sumber daya lainnya yang tersedia.

Persoalanya kemudian adalah bagaimana bisa menjalankan strategi tersebut. Dalam kenyataannya mutu SDM Indonesia memang masih rendah. Oleh karena itu Habibie sebenarnya mengajukan prasarat, yakni kita, baik pemerintah maupun swasta harus bersedia melakukan investasi di bidang SDM ini. Hanya dengan SDM yang bermutu itulah SDM Indonesia bisa memanfaatkan teknologi dan sumber daya lainnya secara optimal.

Dengan mutu SDM yang tinggi dapat dilakukan optimasi pembentukan nilai tambah (added value). Tetapi menurut Habibie optimasi terhadap nilai tambah perlu dilengkapi dengan optimasi biaya tambah (added cost). Disney sebenarnya terjadi titik temu antara pandangan Habibie dengan kelompok yang memegang prinsip kcuntungan komparatif, ketika Habibie menjelaskan bahwa BPIS yang dipimpinnya mampu bersaing dengan perusahaan asing MBB yang mempunyai perputaran sebesar US$ 10, hingga US$ 12, milyar, dengan 60.000 pekerja, dibanding BPIS yang hanya memiliki omzet US$ 2,8 milyar saja dengan pekerja 47.000 orang. Faktor yang membuat IPTN bisa kompetitif secara komparatif adalah kenyataan bahwa biaya pekerja per orang hanya US$ 2.400/tahun, dan biaya overhead sebasar US$ 6.000, per tahun, dibandingkan MBB yang harus menanggung biaya per pekerja sebesar US$ 200.000,/tahun dan biaya overhead sebesar US$ 200.000/tahun. Dengan demikian maka Habibie masih menganggap tenaga kerja sebagai faktor keuntungan komparatif Indonesia yang membuat IPTN mampu bersaing di pasar global.

Di lain pihak, Habibie sendiri juga mengakui bahwa perintisan industri hulu berteknologi canggih dalam janngka waktu tertentu masih membutuhkan satu dan lain bentuk proteksi dan subsidi. Disamping itu penelitian dan pengembangan SDM juga membutuhkan investasi pemerintah sebagai barang umum (public good). Persoalannya adalah dari mana dana itu diperoleh ? Salami ini, dana pemerintah diperoleh dari pajak, terutama pajak perusahaan-perusahaan yang timbul dan berkembang berdasarkan prinsip keuntungan komparatif. Hal ini mengingatkan kita pada strategy yang dianut oleh Mao Ze Dong yang melihat industri ringan dan industri kecil sebagai sumber dana yang bisa diakumulasi. Dalam konteks Indonesia, Habibie menganjurkan untuk meninggalkan jenis-jenis industri yang tidak punya pijakan penguasaan teknologi yang kuat (foot loose industry) yang mudah berpindah, ketika tidak lagi memiliki keuntungan komparatif (dalam pengertian yang lazim, foot loose industry adalah kebalikan dari resource-based industry yakni industri yang tidak berbasis pada sumber daya alam setempat). Jika industri tersebut ditinggalkan, dari mana diperoleh pembiayaan untuk program pendalaman industri dan teknologi serta program transformasi industri dan teknologi ?. Dalam logika inilah maka Prof. Sumitro mengoreksi pandangan Habibie dengan mcngatakan bahwa industryi yang berkembang berdasarkan prinsip keuntungan komparatif itu belum bisa atau untuk sebagian tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Karena itu maka bagi Sumitro, prinsip keuntungan komparatif maupun prinsip keunggulan kompetitif saling menunjang.

Dengan mengingat masih diperlukannya prinsip keuntungan komparatif, betapapun juga pemecahan terhadap masalah industrialisasi yang dalam jangka pinjang bisa menimbulkan persoalan besar bagi perekonomian, dilihat dari indikator ekonomi fundamental, memaksa kita untuk menerima strategi lompatan ke industri teknologi canggih. Masalahnya adalah apakah pengembanan industri jenis ini tidak akan melanggar kendala lain yang disebut Sumitro, yakni keharusan ekonomi nasional untuk menyediakan lapangan kerja bagi penduduk yang bertambah banyak? Menurut Habibie, industri teknologi canggih seperti industri pesawat terbang dan dirgantara, sebenarnya mempunyai kaitan luas ke hilir. Perusahaan Boeing umpamanya, hanya melakukan perakitan terhadap komponen komponen yang diproduksi oleh puluhan ribuan perusahaan menengah dan kecil yang bersifat padat karya dengan system sub kontrak. Karena itu masalahnya adalah apakah perusahaan yang bersangkutan bersedia untuk beroperasi dalam sistem kemitraan, sebagaimana yang telah terjadi di negara-negara industri maju.

Jika strategi transformasi industri dan teknologi bisa diterima, Habibie mengingatkan bahwa tranformasi di negara-negara sedang berkembang, berbeda dengan transformasi yang evolusioner seperti yang terjadi di negara-negara maju. Pertama, transformasi industri di negara-negara sedang berkembang melalui evolusi yang dipercepat membutuhkan biaya yang lebih besar dari biaya yang diperlukan negara-negara industri maju tatkala dulu melakukan transformasi melalui proses evolusi. Kedua, di negara-negara sedang berkembang, proses transformasi mempunyai waktu atau harus dilakukan dalam waktu yang lebih singkat. Dan ketiga, jumlah orang yang terlibat dalam proses transformasi di negara-negara yang sedang berkembang lebih banyak dari di negara-negara industri maju, dan karena itu turut mempercepat persoalan.

Dalam proses transformasi itu dukungan pemerintah sangat diperlukan. Dalam koteks sistem Indonesia berdasarkan pasal 33 UU 1945, negara telah ditetapkan untuk tampil dalam usaha-usaha perintisan. Antara lain dengan menyediakan anggaran untuk penelitian dan pengembangan. Tapi ada cara alternatif seperti yang dicontohkan di Jerman yang memberikan insentif kepada MBB dan Krup. Dua perusahaan itu mengalokasikan dana sebesar 5% dan 6% dari omzetnya, masing-masing untuk pendidikan dan riset, sehingga secara keseluruhan berjumlah 11% dari perputaran. Tapi pemerintahnya menyetujui untuk memo tong pajaknya sebesar itu dengan mengenakan pajak hanya sebesar 89% sebagai insentif. Dengan membebankan anggaran pendidikan dan riset tersebut kepada perusahaan, maka perusahaan dapat memperhitungkannya sebagai ongkos produksi yang akan turut mempengaruhi penentuan harga. Hal ini pada gilirannya akan mendorong perusahaan untuk melakukan efisiennya dengan menekan cost added-nya.

Habibie juga mengakui kenyataan bahwa sumber dana pemerintah itu makin terbatas. Karena itu, dalam industri berteknologi canggihpun diperlukan partisipasi swasta atau masyarakat dengan cara penjualan saham umpamanya. Agaknya, itulahsalah satu factor yang mendorongnya untuk melontarkan gagasan penurunan suku bunga yang secara berturut-turut dilontarkannya di Menado, Bandung dan kemudian dijelaskannya kembali dalam suatu forum CIDES. Disney, BPIS juga harus bisa menempatkan diri sebagai perusahaan yang berkedudukan sama dengan perusahaan-perusahaan swasta. Dalam hal ini, Habibie sudah berfikir lebih maju dengan tidak semata-mata mengharapkan partisipasi modal pemerintah yang harus melalui proses anggaran itu. Ia mulai berfikir untuk bisa memperoleh dana kredit dari perbankan. Hanya saja, untuk industri strategis diperlukan kredit dengan tingkat bunga rendah. Tuntutan ini lumrah, karena beberapa kalangan juga menginginkan suku bunga rendah, misalnya sektor perumahan rakyat, usaha kecil atau usaha pertanian. Di Jepang, perusahaan besar justru memperoleh kredit yang bunganya lebih rendah dari perusahaan kecil. Untuk perusahaan kecil malahan dikenakan suku bunga tinggi.

Seperti kita ketahui, walaupun imbauan terse but beroleh sambutan kalangan luas. Hingga kinipun berbagai kalangan dunia usaha masih terus mengimbau diturunkannya suku bunga. Tetapi, karena Habibie menyertakan alasan bagi usulanya itu, timbul reaksi yang mengatakan bahwa "teori" nya, yang lebih tepat adalah "hipotesa" nya , tersebut berlawanan dengan logika ekonomi. Menurut hipotesa Habibie, penurunan suku bunga akan berpengaruh menurunkan tingkat inflasi. Sementara itu, menurut logika yang lazim dipahami, bukan suku bunga yang menurunkan inflasi, melainkan sebaliknya, tingkat inflasi menentukan suku bunga, sebab penghitungan tingkat suku bunga pertama-tama didasarkan pada tingkat inflasi. Jika tingkat inflasi 10%, maka tingkat bunga tidak mungkin lebih rendah, kecuali jika terdapat subsidi suku bunga dari BI atau pemilik dana, seperti BUMN. Kalangan pengamat juga mendapat kesan bahwa Habibie menghipotesakan bahwa pengaruh penurunan bunga terhadap inflasi tersebut terjadi dalam jangka pendek. Padahal, Habibie memikirkannya dalam jangka panjang, melalui metode zig-zag, atas inisiatif BI yang mempergunakan instrumen operasi pasarnya untuk mempengaruhi tingkat suku bunga bank commercial.

Sebenarnya, Habibie mengemukakan hipotesa bahwa dalam jangka panjang, mengikuti wawasan supply-side economics yang berpikiran jangka panjang, Panamanian suku bunga akan bisa menurunkan tingkat inflasi. Pada mulanya, turunnya suku bunga akan merangsang dunia usaha untuk memperoleh kredit perbankan bagi perluasan usahanya. Meningkatnya kredit perbankan akan meningkatkan volume investasi. Menurut teori ekonomi yang lazim, tingkat pertumbuhan ekonomi, berdasarkan asumsi tentang tingkat ICOR (incremental output ratio), misalnya 3 atau 4 , akan dipengaruhi oleh tingkat pertambahan investasi. Jika investasi meningkat, maka pertumbuhan akan meningkat pula. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi berarti meningkatkan arus barang. Arus barang yang meningkat inilah yang mendorong turunnya harga. Kesimpulannya, turunnya suku bunga, dalam jangka panjang, akan bisa menurunkan tingkat inflasi.

Tetapi pengkritiknya berpendapat bahwa dalam jangka pendek, turunnya suku bunga akan berarti meningkatkan M2, dan selanjutnya akan meningkatkan permintaan aggregate. Sebelum arus barang bertambah, lebih besar permintaan aggregate akan cenderung meningkatkan harga-harga umum. Di lain pihak, turunnya suku bunga tabungan, akan mengurangi insentif menabung. Malahan, turunnya suku bunga tabungan akan mendorong perusahaan dan masyarakat untuk menarik dananya, guna dibelikan mata uang asing yang lebih kuat, dan uang tersebut bisa ditabung di luar Negeri yang memberikan tingkat bunga yang lebih baik. Ini akan berarti larinya devisa keluar Negeri. Sementara itu, sebagian uang kredit itupun bisa langsung dipergunakan untuk membeli devisa guna keperluan impor. Akibatnya, impor akan meningkat dan memperburuk situasi neraca perdagangan dan selanjutnya ikut mempengaruhi neraca berjalan yang kini sedang dalam keadaan defisit yang cenderung memarah dari tahun ke tahun, mungkin akan mencapai tingkat US$ 10,milyar pada tahun anggaran 1997/1998.

Perbedaan hipotesa karena perbedaan waawasan ekonomi ini, agaknya memang sulit dikompromikan. Tetapi terlepas dari itu, berbagai kalangan dunia usaha tetap menuntut turunnya suku bunga, dengan alasan yang berbeda-beda. Tetapi bank-bank pemerintah baru menurunkan suku bunga tabungan, tetapi enggan menurunkan suku bunga pinjaman. Sehingga situasi ini justru memberi peluang spread yang lebih besar pada sejumlah bank-bank pemerintah. Hal ini tentunya bertentangan dengan harapan Habibie, karena ia justru berharap bank-bank bisa menurunkan spread-nya.


IV

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan Disini, bahwa wawasan pembangunan Habibie mencoba untuk memberi jalan keluar terhadap salah satu persoalan pembangunan yang sang at mendasar, yakni di satu pihak untuk melepaskan diri dari ketergantungan teknologi kepada negara-negara industri maju, di lain pihak guna meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia. Jalan keluar itu adalah melakukan proses transformasi industri dan teknologi, melalui evolusi yang dipercepat. Hanya saja perlu disadari konsekuensi biayanya, karena dana pembangunan merupakan kendala yang nyata. Selain itu, perlu diingat, tuntutan tentang perlunya diciptakan kesempatan kerja dan kesempatan usaha yang lebih luas, mengingat makin besarnya jumlah angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan yang mampu memberikan imbalan yang lebih tinggi. Disini sering terkesan bahwa penggunaan teknologi yang lebih canggih cenderung untuk menghemat tenaga kerja. Padahal, penggunaan teknologi yang lebih canggih dapat pula menimbulkan konsekuensi timbulnya proses-proses lain yang membutuhkan tenaga kerja. Hanya saja industri tersebut harus bersedia untuk mengalihkan sebagian proses-prosesnya kepada industri menengah dan kecil. Industri-industri yang akan merupakan industriindustri kecil dan menengah modern yang baru terse but diharapkan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih besar.

Mengingat kendala dana tersebut di atas timbul pertanyaan, siapa yang akan mendanai program transformasi dan pendalaman struktur industri tersebut? Jawabnya adalah industri-industri yang dewasa ini telah berkembang berdasarkan prinsip keuntungan komparatif. Di satu pihak, industri-industri tersebut mudah lepas, sebab tidak mengakar pada kemampuan teknologi dan SDM, karena itu rawan terhadap perubahan-perubahan sosial ekonomi politik di dalam maupun di luar negeri , lagi pula cenderung mengeksploitasi tenaga buruh dan sumber daya alam. dan karena itu rawan sosial dan menimbulkan ancaman terhadap lingkungan tetapi di lain pihak industri tersebut dalam kenyataannya merupakan hidup sumber dana pemerintah melalui pajak dan sumber dana devisa. Industri-industri tersebut sebenarnya yang telah membiayai program pendalaman struktur industri dan program transformasi industri dan teknologi, sebelum program tersebut mampu menghasilkan industri-industri yang menciptakan nilai tambah yang tinggi dan mengurangi ketergantungan teknologi.

Banyak kalangan yang berpendapat bahwa industri padat karya dan reseource -based itu masih tetap dibutuhkan, walaupun dengan risiko yang cukup tinggi, seperti pernah dikatakan oleh Prof. Sumitro dan Prof. Subroto, karena industri-industri terse but memiliki keuntungan komparatif. Dalam kenyataannya, yang berlaku, berdasarkan GBHN, bukan hanya Wijoyonomics, Habibienomics atau Mubyartonomics sendiri. Di bidang industri, yang berlaku bukan hanya prinsip keuntungan komparatif dalam menentukan alokasi sumber daya dalam investasi, melainkan juga strategi pendalaman industri dan strategi pencapaian keunggulan kompetitif dengan industri yang menghasilkan nilai tambah tinggi saja. kesemuanya ternyata diakomodasikan dalam GBHN yang membentuk apa yang disebut Soehartonomics.

Berbagai konsep strategi pembangunan ekonomi dan industrialisasi tersebut di atas memang saling berkompetisi dan menimbulkan mekanisme trade-of. Kesemuanya perlu diuji dengan kriteria-kriteria keberhasilan dalam jangka pendek maupun panjang. Kriteria tersebut sering menampakkan diri sebagai kendala-kendala, misalnya tuntutan untuk meningkatkan kesempatan kerja, efisiensi perusahaan dan ekonomi nasional, berlangsungnya pembangunan yang berkelanjutan, berkurangnya ketergantungan dan meningkatnya kemandirian teknologi, dan meningkatnya daya saing di pasar dunia, terutama dalam menghadapi era pasar bebas, memasuki abad ke 21 yang segera datang masanya itu.

Jakarta. 24 Januari 1997.